Wednesday, June 9, 2010

Relokasi Pasar Klithikan Yogyakarta

Pasar Klithikan merupakan sebuah sentra penjualan barang-barang bekas, pasar yang dinamai berdasarkan bunyi 'klithik' yang terdengar bila barang dagangannya dilempar.  Setiap malam, sejumlah pedagang menggelar dagangannya dengan alas kain atau terpal dan diterangi lampu teplok. Sementara itu, puluhan orang mengerumuni dan sibuk memilih barang. Nama “Klithikan” sendiri mulai dikenal masyarakat Yogyakarta sejak tahun 1960-an ketika kondisi ekonomi agak memburuk. 

Pemerintah Kota Jogja mengambil jalan inisiatif terkait dengan Peraturan Walikota Yogyakarta no. 45 tahun 2007. Peraturan tersebut berisi kebijakan Pemkot untuk memindahkan para pedagang Klithikan di Jalan Mangkubumi, Jalan Asem Gede dan Alun-alun Kidul ke Pasar Klithikan Kuncen. Niat baik pemerintah ini ditujukan untuk merelokasi pedagang kaki lima yang dianggap mengganggu ketertiban.  

Selain itu faktor lain yang mendorong dilakukannya relokasi ini yaitu dari tidak tertibnya para pedagang Klithikan dalam menjalankan aktifitasnya. Para pedagang Klithikan biasa berpenghasilan dan berdagang selama tiga jam yaitu antara pukul 18.30-21.30. Namun, dalam praktik, mereka sudah menggelar dagangan sejak pukul 18.00. Bahkan, kalau bongkar-muat dihitung, mereka baru rampung pukul 22.30. Keberadaan PKL yang menempati trotoar jelas membuat pemilik toko keberatan. Secara kasatmata, jam buka PKL membuat toko-toko di sepanjang Mangkubumi harus tutup sebelum maghrib. Para pedagang tersebut bisa dikatakan sebagai pedagang informal karena tidak mengantongi izin usaha, meskipun mereka mengaku telah mengantongi kerelaan dari para pemilik toko. Pedagang kaki lima di daerah itu tergabung dalam Pethikbumi (Paguyuban Pedagang Klithikan Mangkubumi).


Sedangkan Forum LSM yang selama ini menjadi tim advokasi Pethikbumi menolak relokasi karena pihak Pemkot dalam melakukan komunikasi dengan Pethikbumi tidak maksimal dan tidak mengedepankan azas keadilan dan partisipasi. Bahkan Pemkot tidak punya itikad baik untuk mendengarkan gagasan penataan yang ditawarkan Pethikbumi di jalan Mangkubumi. Alangkah arif dan bijaksananya jika pihak Pemkot mau membatalkan konsep relokasi yang dirasa sepihak. Sebab konsep relokasi akan sangat strategis jika mengedepankan aspirasi dan partisipasi dari para PKL Mangkubumi yang faktanya sebagian besar menolak (KR,30/7/07).
 
Sejarah Singkat dan Deskripsi Pasar Klithikan 
 
"Klithikan", sebuah kata yang barangkali tak asing lagi bagi warga Jogja. Di beberapa sudut jalan, seperti Pasar Kranggan, Mangkubumi dan Alun-alun Selatan, kita dengan mudah akan menemukan sebuah pasar yang tercipta dari hadirnya para pedagang barang bekas. Puncak maraknya pasar yang terletak tak jauh dari Tugu Yogyakarta ini adalah pasca krisis ekonomi tahun 1998. Para pedagang di pasar ini menjual bermacam-macam dagangan seperti onderdil kendaraan, peralatan elektronik, barang-barang antik, alat pertukangan, buku, pakaian, bahkan ponsel pun dijajakan di sini. Tidak hanya barang bekas, beberapa diantaranya juga menjual barang yang baru.
 
Pasar  Klithikan Pakuncen lahir di Kota Yogya sejak 11 November 2007, Pasar ini dibangun untuk merelokasi (menata) para pedagang klithikan yang sebelumnya berjualan di trotoar Jalan Mangkubumi, Jalan Asemgede dan Alun-alun Kidul Kraton Yogya.  
 
Pedagang pasar Klithikan Pakuncen ini seluruhnya berjumlah 718, 697 dari tiga pasar yang direlokasi, dan 21 lapak atau pedagang yang disediakan bagi masyarakat RT/RW di sekitar pasar.

Upaya Pemerintah
 
Pemerintah Kota Yogyakarta merencanakan relokasi ini agar kota lebih tertib dan tertata rapi, sedangkan para pedagang awal mulanya ketakutan dengan perelokasian tersebut maka dagangannya akan sepi dari konsumen, sedangkan dari masyarakat sekitar sendiri ada yang setuju dan tidak setuju, yang setuju menyatakan bahwa lokasi tersebut yang dahulu merupakan pasar hewan lebih banyak memberi dampak negatif seperti bau yang tidak sedap dan tempatnya yang di tengah kota dinilai sudak tidak representatif sebagai pasar hewan, sedangkan masyarakat yang tidak setuju dengan perelokasian menyatakan bahwa dengan perelokasian ini, khawatir dengan dampak negatif seperti, masyarakat sekitar yang mempunyai pekerjaan sebagai pedagang sapi, tidak bisa menjual hewannya di daerah tersebut, keamanan daerah sekitar pasar dan sebagainya.



Upaya permanenisasi pedagang Klithikan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta ini dapat dibilang mengambil langkah kontraproduktif dan memarginalkan karena secara sistematis mereduksi karakteristik pedagang klithikan yang selama ini menjadi sumber kekuatannya, yaitu:
-       Pertama, bersifat informal.
-       Kedua, fleksibilitas pasar. Menjamurnya jumlah pedagang dan kian meningkatnya omzet bisnis klithikan tak dapat dipungkiri karena ditunjang fleksibilitasnya dalam merespons pasar, tak ada aturan yang membatasi jumlah dan jenis barang yang harus diperdagangkan.
-       Ketiga, menonjolkan egaliterianisme. Rasa senasib dan sepenanggungan menjadi nuansa lain di kancah bisnis klithikan sehingga mampu menghadirkan suasana pasar yang khas merakyat dan penuh kegotongroyongan.
-       Keempat, mengedepankan humanisme. Kentalnya nuansa kekerabatan dan hadirnya sentuhan-sentuhan personal, yang tercermin melalui proses tawar-menawar dalam setiap transaksinya membuat bisnis klithikan begitu hidup dan penuh

Peran Pemerintah



Pemerintah Kota Yogyakarta berani menata ulang dan memfasilitasinya secara komprehensif dengan melibatkan berbagai instansi terkait, berupa:
-       Pertama, standardisasi lapak/kios
-       Kedua, penyediaan MCK berjalan
-       Ketiga, memadainya sarana penerangan
-       Keempat, sistem pengaman kawasan

Tempat atau kios yang ditempati sekarang ini didapat dari pendataan dan pendaftaran dari tempat pedagang yang direlokasi. Para pedagang mendapat modal tambahan sebesar Rp. 880.000,00 (Delapan Ratus Delapan Puluh Ribu Rupiah) yang diberikan secara bertahap. Pada tujuh hari pertama sebesar Rp. 40.000,00. (Empat Puluh Ribu Rupiah) dan sisanya diberikan sebesar Rp. 20.000,00/hari. (Dua Puluh Ribu Per Hari).
Mengenai retribusi, pasar Klithikan juga menerapkan sistem pungutan pajak atau retribusi. Retribusi ditentukan oleh jenis dagangan, lama jam buka pasar, serta penggolongannya. Penggolongan pasar digolongkan menjadi dua berdasakan Perda No. 02 tahun 2009. Penggolongan tersebut antara lain:
  • Golongan B : Barang dagangan berupa konveksi dan retribusi sebesar Rp. 1575/hari.
  • Golongan C : Elektronik, Klitikan dan retribusi sebesar Rp. 900/hari.
 
 
 
 

No comments:

Post a Comment